Oleh : Habibi
Literasi
mengenai hadirnya jejak kaum Intelektual kini dapat dimulai dari beberapa
definisi tertulis yang coba mendekati secara ciri khas bagaimana sosok yang
dikatakan ‘intelektual’ berfikir dan bertindak. Dari hal tersebut telah banyak
pengertian yang disarikan dari berbagai pendapat tokoh, ilmuan maupun akademisi
tentang benang merah kesimpulan “Siapakah Kaum Intelektual sebenarnya?” yang
relevan dengan konteks zaman.
Merujuk dari pengertian dalam Oxford
Advanced Learners Dictionary; Kaum Intelektual diberikan pengertian secara
tindakan sebagai orang yang senantiasa melakukan hal-hal yang baik dan
selanjutnya mampu memandang dirinya sebagai orang yang memiliki kebebasan
berfikir.
Pengertian yang kurang lebih tidak
jauh berbeda pula di utarakan oleh ‘Selo Soemardjan’ antara perbedaan seorang
intelektual dan non-intelektual ialah pada kemampuan berfikir bebas sebagai
lawan dari kecenderungan mengikuti saja pikiran orang lain. Konsepsi mengenai
kebebasan berpikir disini dapat diartikan sebagai butir-butir pijakan
Intelektual yakni sebagai sosok yang mampu dengan cermat menyederhanakan
kompleksitas persoalan yang rumit serta mampu memberikan solusi efektif, tepat
dan solutif dengan kebutuhan masyarakat kekinian. Maka dari sini kaum
intelektual dapatlah diartikan sebagai arsitek yang mempelajari, menafsirkan,
mempertahankan mengembangkan, menyajikan pola-pola yang diwujudkan oleh sistem
dan mampu memberikan sentuhan dan motif bagi terciptanya tatanan masyarakat
yang beradap.
Namun secara lebih gamblang, Ahmad
Wahib pernah memberikan gambaran yang lebih sederhana mengenai kaum
intelektual; pertama bahwa intelektual adalah mereka yang terpelajar,
akademis sedangkan yang kedua mereka adalah akademis, kreatif, ,memiliki
gairah pengabdian dan pertanggungjawab terhadap masa depan manusia dan
kemanusiaan.
Dari pernyataan tersebut dapatlah
kita bersama menyimpulkan keinginan seorang Wahib menggambarkan bahwa tidak
semua kalangan terpelajar maupun akademisi dapat diartikan sebagai sosok
intelektual, maka dari sini penulis ingin membawa pembaca memulai dari titik
awal perjalanan darimanakah intektual
berawal.
1. Pada
Awalnya adalah Kisah Dreyfus
Sebuah kisah skandal politik yang
begitu buruk tentang Kapten Alfred Dreyfus (1859-1935) yang dihukum buang ke
pulau setan (1894) karena “fitnah” dan
tuduhan berkhianat memberikan rahasia militer prancis kepada jerman mengawali
istilah ‘intelektual’ pertama digunakan pada surat kabar Paris mengenai ‘manifeste
des intelletuels’ (14 Januari 1898) yang disusun oleh segenap masyarakat
yang ‘sadar dan berpengetahuan’ untuk melancarkan protes terhadap pemerintah
Prancis terhadap kebohongan atas peristiwa Dreyfus. Namun pada konteks ini
penggerak kesadaran terhadap protes tersebut bukanlah muncul dari seorang
sarjana yang memperoleh pengajaran dan pendidikan di universitas.
Tidak berhenti pada kisah skandal
politik Dreyfus, sejarah Brazil pernah mencatat seorang intelektual
non-akademis, yakni perjuangan seorang “Chico Mendes” dalam mempertahankan dan melawan penebangan
liar hutan Amazon (Red-The Burning Season-Chico Mendes) menjadi gambaran
sisi profetik dan tindakan intektual murni dalam memperjuangkan kepentingan
kaum tertintas.
Namun seiring perkembangannya dan zeitge
(semangat zaman), pada suatu masa tertentu pergumulan pemikiran membuat
kesimpulan baru bahwa Universitas adalah institusi formal untuk melahirkan
seorang intelektual cendekiawan. Sehingga, pada fase tersebut begitu sulitlah
menempatkan garis batas yang tegas antara sarjana dan kaum intelektual.
2. Sarjana
dan Intelektual
Dari sini penulis ingin mempertegas
perbedaan makna yang besar secara definitif baik secara pengertian maupun
secara bertindak antara seorang sarjana dan kaum intelektual yang kini berbaur
dalam satu institusi pendidikan formal Universitas, karena sarjana adalah
orang yang hanya memiliki suatu disiplin ilmu pengetahuan terbatas dengan cara
memasukkan pengetahuan waktu lampau yang dikumpulkan dan diuji. Sedangkan intelektual
memulai dengan pengalaman, pengalaman individu atas dunia dan mampu mengemban
visi Profetik kerakyatan (baca-Intelektual Profetik Kerakyatan).
Pergumulan antara mahasiswa dan
intelektual dalam satu ruang pendidikan formal kini memunculkan distorsi
pemaknaan tersendiri pada khalayak, dimana sarjana lebih di-overgeneralisirkan
menjadi bagian dari intelektual dan intelektual adalah seorang sarjana. Atas
pandangan gamblang tersebut, maka kini pemetaan atas gerakan diantara keduanya
pun begitu sulit dibedakan dengan jelas.
3.
Pengkhianatan Mahasiswa dalam topeng
Intelektual
Pada konteks problematika ini
penegasan antara perbedaan keduanya (mahasiswa dan intelektual) kemudian lebih
dipertegas oleh Soe Hok Gie dalam tulisannya “genitnya intelektual kita; bahwa
kaum intelektual kini telah menjadi kelompok minoritas dalam sebuah masyarakat,
dimana kelompok ini lebih mencerminkan kematangan proses pendidikannya dan
menjaga tonggak sejarah peradaban menjadi lebih baik”, maka tak hayal poros
ini akan menjaga kemerdekaan jiwa karena disanalah bersarang kemerdekaan
berfikir, dimana kemerdekaan dalam aktualisasinya akan lebih terwujud dalam
kemerdekaan bersikap dan berpendapat.
Kini simpul profetik tersebut
telah teracuni oleh cara berfikir dan
bertindak mahasiswa yang lebih mengarah pada pragmatisme dalam bersikap,
oportunisme memandang serta bergerak dengan kepentingan destruktif semata
menjadikan simpul kekuasaan lebih seksi untuk dinikmati daripada
berjuang kepinggir dengan semangat perubahan zaman untuk menjadi lebih baik.
Kesimpulan
Paradigma negatif mahasiwa topeng
intelektual tersebut akhirnya menyisihkan harapan tipis dan awan mendung
bagi eksistensi rumah pendidikan formal Universitas sebagai bidan
intelektual yang dipercaya dalam pandangan masyarakat umum. Maka sudah
seharusnya dimensi perubahan tersebut hadir dari kesadaran bersama bahwa
perubahan kini adalah hal yang sangat-sangat begitu mendesak. Karena
permasalahan kita adalah “diwarnai atau mewarnai”, (Yakin Usaha Sampai).
0 komentar:
Posting Komentar