Prof. Dr. Nurcholish Madjid (lahir
di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 – meninggal
di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun) atau
populer dipanggil Cak Nur, adalah seorang pemikir Islam, cendekiawan, dan
budayawan Indonesia. Pada masa mudanya sebagai aktifis Himpunan
Mahasiswa Islam, ide dan gagasannya tentang sekularisasi dan pluralisme pernah
menimbulkan kontroversi dan mendapat banyak perhatian dari berbagai kalangan
masyarakat. Nurcholish pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan PenasehatIkatan
Cendekiawan Muslim Indonesia, dan sebagai Rektor Universitas Paramadina,
sampai dengan wafatnya pada tahun 2005
Masa kecil dan pendidikan
Ia dibesarkan di lingkungan keluarga kiai
terpandang di Mojoanyar, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya, KH
Abdul Madjid, dikenal sebagai pendukung Masyumi. Setelah melewati
pendidikan di berbagai pesantren, termasuk Gontor, Ponorogo, menempuh
studi kesarjanaanIAIN Jakarta (1961-1968), tokoh HMI ini
menjalani studi doktoralnya di Universitas Chicago,Amerika
Serikat (1978-1984), dengan disertasi tentang filsafat dan kalam Ibnu
Taimiyah.
Ide pembaharuan Islam
Cak Nur dianggap sebagai ikon pembaruan
pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Gagasannya tentang pluralisme telah
menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan di masanya, terlebih di
saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan
ancaman disintegrasi bangsa.
Cak Nur dikenal dengan konsep
pluralismenya yang mengakomodasi keberagaman /ke-bhinneka-an keyakinan di
Indonesia. Menurut Cak Nur, keyakinan adalah hak primordial setiap manusia dan
keyakinan meyakini keberadaan Tuhan adalah keyakinan yang mendasar. Keyakinan
tersebut sangat mungkin berbeda-beda antar manusia satu dengan yang lain,
walaupun memeluk agama yang sama. Hal ini berdasar kepada kemampuan nalar
manusia yang berbeda-beda, dan dalam hal ini Cak Nur mendukung konsep kebebasan
dalam beragama. Bebas dalam konsep Cak Nur tersebut dimaksudkan sebagai
kebebasan dalam menjalankan agama tertentu yang disertai dengan tanggung jawab
penuh atas apa yang dipilih. Cak Nur meyakini bahwa manusia sebagai individu
yang paripurna, ketika menghadap Tuhan di kehidupan yang akan datang akan
bertanggung jawab atas apa yang ia lakukan, dan kebebasan dalam memilih adalah
konsep yang logis. Manusia akan bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang
ia lakukan dengan yakin. Apa yang diyakini, itulah yang dipertanggung jawabkan.
Maka pahala ataupun dosa akan menjadi benar-benar imbalan atas apa yang secara
yakin ia lakukan.
Sebagai tokoh pembaruan dan cendikiawan
Muslim Indonesia, seperti halnya K.HAbdurrahman Wahid (Gus Dur), Cak Nur
sering mengutarakan gagasan-gagasan yang dianggap kontroversial terutama
gagasan mengenai pembaruan Islam di Indonesia. Pemikirannya dianggap sebagai
sumber pluralisme dan keterbukaan mengenai ajaran Islam terutama setelah
berkiprah dalam Yayasan Paramadina dalam mengembangkan ajaran Islam
yang moderat.
Reformasi 1998
Namun demikian, ia juga berjasa ketika
bangsa Indonesia mengalami krisis kepemimpinan pada tahun 1998.
Cak Nur sering diminta nasihat oleh Presiden Soehartoterutama dalam
mengatasi gejolak pasca kerusuhan Mei 1998 di Jakarta setelah
Indonesia dilanda krisis hebat yang merupakan imbas krisis 1997. Atas
saran Cak Nur, Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya untuk
menghindari gejolak politik yang lebih parah.
Kontroversi
Ide dan Gagasan Cak Nur tentang
sekularisasi dan pluralisme tidak sepenuhnya diterima dengan baik di kalangan
masyarakat Islam Indonesia. Terutama di kalangan masyarakat Islam yang
menganut paham tekstualis literalis (tradisional dan konservatif) pada sumber
ajaran Islam. Mereka menganggap bahwa paham Cak Nur dan Paramadinanya telah
menyimpang dari teks-teks Al-Quran dan Al-Sunnah. Gagasan Cak Nur yang paling
kontroversial adalah saat dia mengungkapkan gagasan "Islam Yes, Partai
Islam No?" yang ditanggapi dengan polemik berkepanjangan sejak
dicetuskan tahun 1960-an , sementara dalam waktu yang bersamaan sebagian
masyarakat Islam sedang gandrung untuk berjuang mendirikan kembali
partai-partai yang berlabelkan Islam. Konsistensi gagasan ini tidak pernah
berubah ketika setelah terjadi reformasi dan terbukanya kran untuk membentuk partai
yang berlabelkan agama.
MASYARAKAT MENURUT CAK NUR
"Sekularisasi tidaklah dimaksudkan
sebagai penerapan sekularisme, sebab ‘sekularisme adalah nama sebuah ideologi,
sebuah pandangan dunia tertutup yang baru yang berfungsi sangat mirip dengan
agama.’ Dalam hal ini, yang dimaksudkan ialah setiap bentuk ‘perkembangan yang
membebaskan.’ Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat
perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang
disangkanya Islamis itu, mana yang transendental dan mana yang temporal”.
(Nurcholish Madjid)
Di tengah kejumudan berpikir yang menimpa kalangan umat Islam, Dr.
Nurcholish Madjid, atau yang akrab disapa Cak Nur, dalam pidatonya pada 3
Januari 1970, menawarkan gagasan progresifnya: “Keharusan Pembaruan Pemikiran
Islam Dan Masalah Integrasi Umat”. Gagasan ini tak pelak menimbulkan
kontroversi yang berkepanjangan. Bahkan ada yang menganggap ide Cak Nur itu tak
lebih hanyalah sebagai bagian dari upaya penghancuran terhadap ajaran Islam
yang sudah mapan.
Realitas kejumudan di mana masyarakat masih lebur dalam euforia romantisme
masa lalu, yakni berkutat dengan nilai-nilai tradisional dan menganggapnya
sebagai sesuatu yang sakral, membuat Cak Nur semakin gelisah sehingga ia
memberanikan diri menerobos dinding kejumudan yang sedemikian kokoh
dipertahankan oleh umat Islam. Cak Nur menegaskan pentingnya proses pembebasan
di mana masyarakat harus digiring kepada nilai-nilai yang berorientasi masa
depan. Proses pembebasan ini, menurutnya, mengharuskan umat untuk mengadopsi
sekulariasasi, keterbukaan dan lain sebagainya.
Tanpa adanya upaya progresif semacam itu, umat Islam tidak akan mampu
meneropong masa depan yang gemilang. Upaya untuk mengembalikan masa kejayaannya
sebagaimana pada beberapa abad sebelumnya hanya akan menjadi utopia belaka.
Bagaimana mungkin peradaban akan dibangun jika pemikiran umat Islam tidak
menunjukkan sinyal pencerahan yang progresif dan dinamis. Kemudian pada sisi
yang lain umat menganggap ide pembaruan yang sangat universal itu sebagai
ancaman yang harus ditolak. Sehingga tidak heran kalau kemudian muncul
keyakinan ekslusif yang terkesan “dibuat-buat”: “Islam sudah tidak membutuhkan
pembaruan karena Islam sudah sarat dengan pembaruan itu sendiri.”
Di sinilah letak kesalahan paradigma atau pola pikir yang sedang
menghinggapi sebagian besar kalangan umat Islam hingga saat ini. Realitas
kejumudan tidak disadari sebagai suatu fenomena yang membahayakan masa depan
umat Islam sendiri, ibarat duri dalam daging: suatu saat pola pikir semacam itu
akan menghambat kemajuan dalam konteks apa pun. Karena itu, gagasan yang
diusung oleh Cak Nur pada dasarnya berangkat dari semangat Al- Qur’an sebagai
way of life, dengan interpretasi yang lebih menyegarkan. Bukan ide baru yang
tidak berpijak pada semangat qur’ani.
Esensi Islam
Dalam upaya merealisasikan pembaruan
pemikirannya, Cak Nur sampai pada sebuah kesimpulan yang menyiratkan pentingnya
umat memahami esensi Islam itu sendiri. Yang terpenting bagi Cak Nur, bahwa
Islam tidak terletak pada simbol atau penampakan simboliknya. Akan tetapi yang
paling utama adalah bagaimana umat diarahkan kepada nilai-nilai esensial Islam
yang membebaskan. Keresahan Cak Nur yang disampaikan melalui pidato lanjutannya
pada 1972 di TMI ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh banyaknya parpol-parpol
yang (sengaja) memakai nama Islam sebagai simbol untuk menarik dukungan
sebanyak-banyaknya.
Pernyataan Cak Nur yang cukup populer: “Islam, yes; partai Islam, no!”
merupakan penegasan ihwal pentingnya esensialitas keberagamaan sebagai sarana
menuju yang transenden; umat harus keluar dari kungkungan simbol-simbol yang
tidak membebaskan. Pada tahap ini Cak Nur mendapatkan penentangan yang cukup
besar karena pemikirannya dinilai menyimpang dari mainstream yang telah
dijadikan pegangan kuat oleh umat. Namun demikian, suatu pemikiran yang
(dianggap) “menyimpang” bukan berarti penanda runtuhnya peradaban atau masa
depan umat. Justru hal itu bisa dikatakan sebagai sinyal menuju masa depan yang
menrcerahkan. “Jika ingin mengantisipasi perkembangan masyarakat masa depan,
sebaiknya berpaling kepada para intelektual yang menyimpang dari arus utama.”
Demikianlah menurut Ali Syariati, seorang intelektual revolusioner Iran.
Dengan demikian, apa yang telah dilakukan oleh Cak Nur merupakan sebentuk sikap
antisipasi yang didasari oleh komitmen keberagamaan dalam menatap masa depan
umat Islam Indonesia. sikap antisipasi itu muncul di tengah semakin maraknya
umat digiring ke arah yang bersifat simbolik dan cenderung melupakan yang
esensial.
Menurut Dr. Yudi Latif (2006), upaya Cak Nur dalam mengarahkan umat kepada
nilai-nilai esensial Islam pada satu sisi karena kemunculan Orde Baru yang
telah meminggirkan politik Islam. Dan pada sisi yang lain, kebenciannya
terhadap ideologi komunisme mendorong rezim militer mempromosikan pengajaran
agama. Akibatnya, saat Islam politik mandul, ketertarikan orang-orang terhadap
Islam justru kian meningkat. Atas dasar itu ia sampai pada kesimpulan: 'Islam,
yes; partai Islam, No!'.
Sebagai seorang intelektual atau cendikiawan muslim Cak Nur berkali-kali
melakukan pembelaan ketika Islam hanya dijadikan sebagai sarana atau instrumen
politik, di mana di dalamnya sarat dengan kepentingan kelompok. Apalagi ada
kecenderungan di antara parpol-parpol berlabel Islam seakan-akan memonopoli
kebenaran. Sehingga tidak heran kalau kemudian terjadi konflik horisontal
antarpendukung parpol atas nama kebenaran. Padahal konflik itu terjadi tidak
lain hanyalah karena menyangkut kepentingan yang sifatnya politis, bukan
ideologis apalagi teologis.
Karena itulah Cak Nur seringkali mempertanyakan idealisme dari
parpol-parpol Islam yang dinilainya sudah tidak punya “daya tarik” lagi.
Kehilangan dinamika. Dan kalau ini tetap dipertahankan, niscaya umat akan
mengalami kemunduran. Kenapa demikian? Karena partai-partai Islam, baik pada
tahun 1970-an atau bahkan sampai reformasi tegak, gagal membangun image positif
dan simpatik. Perpecahan atau disintegrasi di kalangan umat Islam sendiri,
misalnya, adalah contoh konkrit di mana partai-partai Islam tidak mampu
membangun semangat kesatuan dan persatuan. Ditambah lagi dengan kasus-kasus
penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh sebagian besar wakil-wakil dari
partai Islam di birokrasi pemerintahan yang sampai saat ini makin marak
terjadi.
Inilah sebuah paradoks keberagamaan yang lahir dari idealisme utopis. Pada
satu sisi umat diarahkan untuk bernaung di bawah payung partai Islam, dan pada
sisi yang lain mereka lupa meniupkan nilai-nilai keislaman sebagai nafas
perjuangan. Akibatnya, dari waktu ke waktu Islam di Indonesia hanya berkembang
secara kuantitas seiring dengan banyaknya partai-partai Islam yang memosisikan
diri sebagai “pengemban aspirasi” umat Islam.
Sekularisasi, Bukan Sekularisme
Sekularisasi tidaklah dimaksudkan sebagai
penerapan sekularisme, sebab secularism is the name for an ideology, a new
closed world view which funtion very much like a new religion. Demikianlah
penegasan Cak Nur ketika mendapatkan banyak kritikan mengenai pembaruan
pemikirannya tentang pentingnya sekularisasi.
Masih terngiang hingga saat ini suara-suara sumbang yang tidak sepaham
dengan jalan pikiran Cak Nur. Sekularisasi dianggap sebagai suatu proses
penerapan sekularisme. Padahal sekularisasi pada dasarnya berbeda pengertiannya
dengan sekularisme. Meminjam bahasanya Robert N. Bellah, sekularisasi yang
dimaksudkan adalah proses temporalisasi terhadap nilai-nilai yang memang
temporal, namun oleh banyak orang cenderung dianggap transenden dan disucikan.
Seadangkan sekularisme itu sendiri adalah paham keduniawian yang menyatakan
bahwa Tuhan tidak berhak mengurusi masalah-masalah duniawi. Paham tersebut
mengatakan bahwa kehidupan duniawi adalah mutlak dan terakhir. Mereka tidak
percaya adanya hari kemudian, di mana Islam seringkali menamakannya sebagai
Hari Kebangkitan. Seorang sekularis menolak pemakaian prinsip ketuhanan dalam
menyelesaikan masalah-masalah duniawi manusia. Mereka percaya sepenuhnya pada
kekuatan rasio sebagai instrumen untuk menemukan kebenaran terakhir (ultimate
truth). Dengan demikian, menurut pemahaman Cak Nur, bisa dikatakan bahwa
seorang sekular yang konsekuen dan sempurna, adalah orang atheis. Sebaliknya,
seorang sekular yang tidak konsekuen, akan mengalami kepribadian yang pecah
(split personality).
Berangkat dari pemahaman di atas, maka tentu saja sekularisme bertentangan
dengan ajaran Islam. Sebab sekularisme membentuk filsafat tersendiri dan
pandangan dunia baru yang berbeda, atau bertentangan dengan hampir seluruh
agama yang ada di muka bumi ini, apalagi dengan Islam. Bahkan Al-Qur’an sendiri
menggambarkan orang-orang sekularis sebagai kelompok yang kafir, mengingkari
Tuhan beserta ketetapan-ketetapannya: “Mereka ( orang-orang kafir itu) berkata:
‘Tidak ada kehidupan kecuali kehidupan dunia kita ini saja. Kita mati dan kita
hidup, dan tidak ada sesuatu yang membinasakan kita, kecuali masa.’ Padahal
mereka tidak mempunyai pengetahuan yang pasti tentang hal itu. mereka hanyalah
menduga-duga saja.” (Al-Jatsiyah: 24).
Demikianlah gambaran Al-Qur’an tentang orang-orang sekularis. Akan tetapi
kita tidak bisa menyimpulkan bahwa ide Cak Nur tentang sekularisasi adalah
bagian dari upaya mewujudkan nilai-nilai sekularisme itu sendiri. Sebab
sekularisasi dalam perspektif Cak Nur pada dasarnya adalah suatu proses, yaitu
proses penduniawian. Dalam proses itu terjadi pemberian yang lebih besar
daripada sebelumnya terhadap kehidupan duniawi ini. Karena bagaimana pun kita
adalah makhluk sekular, makhluk yang masih hidup di dunia.
Harvei Cox – sebagaimana dikutip oleh Cak Nur – membedakan pengertian
antara sekularisasi dan sekularisme: “Bagaimana pun, sekularisasi sebagai
istilah deskriptif mempunyai arti yang luas dan mencakup. Ia muncul dalam
samaran-samaran yang berbeda, tergantung kepada sejarah keagamaan dan politik
suatu daerah yang dimaksudkan. Namun, di mana pun ia timbul, ia harus dibedakan
dari sekularisme. Sekularisasi menunjukkan adanya proses sejarah, hampir pasti
tak mungkin diputar kembali, di mana masyarakat dan kebudayaan dibebaskan dari
kungkungan atau asuhan pengawasan keagamaan dan pandangan dunia metafisis yang
tertutup. Telah kita tegaskan bahwa sekularisasi, pada dasarnya, adalah
perkembangan pembebasan. Sedangkan sekularisme adalah nama untuk suatu
ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang berfungsi sangat mirip
sebagai agama baru.”
Dengan demikian, sudah jelas bahwa ide Cak Nur tentang sekularisasi bukan
dimaksudkan untuk mendakwahkan tiadanya dzat yang bersifat transendental. Akan
tetapi upaya menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi,
dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-kannya.
Masalah sekularisasi dan sekularisme memang “hanya” persoalan istilah. Akan
tetapi Cak Nur paham betul ihwal makna serta implikasi dari kedua istilah
tersebut: sama perbedaannya antara rasionalis dan rasional; antara
rasionalisasi dan rasionalisme. Karena itu, ia tidak mau disebut dirinya
sebagai seorang sekularis yang berarti penganut sekularisme, atau rasionalis
yang berarti pemuja rasionalisme atau kemutlakan rasio.
Sedangkan Islam hanya membenarkan rasionalitas, yaitu memfungsikan potensi
akal dalam menemukan kebenaran. Itu pun harus disadari, bahwa kebenaran yang
ditangkap oleh rasio bersifat relatif atau terbatas. Keterbatasan rasio inilah
yang dijelaskan oleh Allah dalam salah satu firmannya: “Tidaklah kamu (manusia)
diberi ilmu pengetahuan (melalui rasio) melainkan sedikit saja.”(Q.S. 17: 85).
Karena itu rasionalisme, sebagaimana juga sekularisme, harus kita tolak.
Karena bagaimana pun rasionalisme mengingkari keberadaan wahyu (revelation)
sebagai media untuk mengetahui kebenaran yang bersifat hakiki.
0 komentar:
Posting Komentar